Sabtu, 16 September 2017

Suara-suara Sarjana yang Bekerja Tak Sesuai Jurusannya

Pak Jokowi secara halus pernah menyindir mengapa banyak lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) malah kerja di bank? Sindirian beliau tentu benar adanya. Tapi sejujurnya, bukan hanya IPB, banyak pula lulusan dari perguruan tinggi lain yang nyasar.
Sudah tidak terhitung berapa kali saya bertemu kawan yang pekerjaannya tidak ada hubungan sama sekali dengan jurusan yang ia tekuni dulu di bangku kuliah.
Ada kawan yang dulu kuliah di jurusan Teknik Sipil, tapi sekarang bukan ngurusi proyek pembangunan, malah setiap hari ngejar-ngejar nasabah. Ya, semacam penagih kredit.
Nasib yang hampir sama juga dialami sepupu saya. Semasa kuliah, ia akrab dengan stetoskop atau pil KB, karena dulu kuliah di jurusan Kebidanan. Tapi sekarang malah mengakrabi mesin penghitung duit, bukan duit dia lagi. Ya betul, teller di salah satu bank.
Ada lagi seorang teman yang sebelum lulus kuliah pernah berikrar selayaknya Gaj Ahmada bahwa ia tidak mau bekerja di bank, seperti yang senior-senior lakukan sebelumnya.
Namun, apa boleh dikata, tak lama setelah wisuda ia malah bekerja di bank swasta yang cukup mentereng. Tapi sekarang sudah keluar dari pekerjaan tersebut.
Dari cerita di atas, semuanya berakhir dengan menjadi karyawan bank. Jelas, mengapa presiden kita harus repot-repot menyindir fenomena nyasarnya para sarjana ini. Sebab, kalau semua jadi karyawan bank, lantas siapa yang bakal membantu ibu-ibu melahirkan?
Namun, pertanyaan yang tidak kalah penting adalah mengapa fenomena nyasarnya para sarjana ini bisa terjadi? Tentu ada sebabnya. Lha wong, mendadak pergi umroh saja pasti ada pemicunya kok selain ibadah
Jadi begini, Pak Presiden. Saya perlu mengingatkan bahwa sektor finansial, seperti perbankan dan multifinance, adalah sektor yang paling banyak membuka lowongan pekerjaan. Di sektor perbankan saja, setidaknya membutuhkan 25 ribu tenaga kerja baru setiap tahun, ungkap Ikatan Bankir Indonesia (IBI).
Dan, dari lima perusahaan di Indonesia yang memiliki jumlah karyawan terbanyak, Bank Rakyat Indonesia (BRI) menempati peringkat pertama. Ya betul, bank yang katanya digandrungi lulusan IPB, selain Bank Mandiri.
Setiap tahun selalu saja ada selebaran atau poster yang mengumumkan lowongan kerja di bank. Begitu juga dengan beberapa job fair bergengsi. Bapak Presiden juga harus tahu bahwa hanya di bank lah seleksi penerimaan karyawan tidak terlalu rumit, kecuali Bank Indonesia (BI).
Bagaimana tidak, jurusan apapun bebas ikut. Bahkan, untuk lowongan kerja sebagai teller dan customer service saja, masih bisa pakai ijazah setara SMA. Yah, meski banyak juga yang melewati jalur tenaga alih daya atau outsourcing.
Coba bapak bandingkan saja dengan perusahaan-perusahaan lain, jarang sekali membuka lowongan pekerjaan, Pak. Walaupun mereka menerima tambahan karyawan, informasinya tidak disebarluaskan alias hanya diketahui oleh ‘orang dalam’. Akhirnya yang melamar ya teman-teman dan kerabat karyawan.
Terus sudah begitu, kebanyakan perusahaan tersebut hanya membuka lowongan untuk beberapa posisi saja, tidak seperti di bank. Sampai di sini, saya harap bapak bisa mengerti kenapa para sarjana memilih bekerja di bank.
Bapak sendiri kan tahu, mencari pekerjaan tidak mudah. Yah, meski Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat pengangguran terbuka per Februari 2017 turun 0,17% atau 10 ribu orang menjadi 7,01 juta orang atau 5,33%, dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 5,5%.
Saya ingin bercerita kejadian di Kota Ternate. Setelah ujian seleksi untuk salah satu kementerian selesai, langsung diumumkan siapa-siapa saja yang lulus. Mereka adalah calon guru. Tapi, coba bayangkan, dari dua sesi ujian yang diikuti oleh ratusan peserta, yang lulus hanya empat orang. Empat orang, Pak!
Bapak mungkin akan mengatakan bahwa kesempatan menjadi guru itu banyak karena kita masih kekurangan tenaga pengajar. Okee… tapi itu kan di daerah pelosok. Siapa yang mau mengajar di daerah terpencil? Iya gak sih?
Di daerah terpencil itu nggak ada jaringan internet, kan bisa mati gaya. Lebih enak ngajar di kota, akhir pekan bisa kongkow manja di kafe sambil main Boomerang di IG Story atau selfie-selfie dan bikin vlog kayak bapak.
Sama halnya dengan para sarjana pertanian lulusan IPB. Masak sudah jauh-jauh kuliah di Bogor, malah disuruh balik ke kampung ngurusin sawah dan kebun? Lha mending kerja di bank, terlebih itu di kota besar, daripada balik ke kampung tapi listriknya saja cuma nyala malam hari.
Lagipula, Bapak Presiden kayak nggak tahu saja stigma di masyarakat kita bahwa seseorang yang sudah merantau jauh ke kota besar dan kemudian pulang kampung itu dianggap gagal, Pak. Apa kata calon mertua nanti?
Sarjana pertanian bekerja di bank itu sudah benar. Ya setidaknya mereka masih berurusan dengan bunga, kan?
Saya dan teman saya, sebut saja namanya Asta Purbagustia, adalah lulusan Administrasi Negara, jurusan yang entah apa faedahnya menciptakan para calon ambtenaar.
Sejak lulus bukannya melamar menjadi pegawai honorer atau PTT di kelurahan atau instansi kedinasan, eh malah bertungkus lumus dengan kata-kata. Bukannya mengakrabi pelbagai dokumen administrasi, eh malah sibuk nulis di Voxpop.
Saya pun pernah bertanya kepada sepupu, apakah ia punya niat untuk keluar dari pekerjaannya di bank dan melanjutkan titahnya sebagai seorang bidan? Eh, dia malah menjawab kalau berhenti dari bank nanti tidak bisa memperoleh apa yang ia dan semua orang inginkan, ya materi.
Jadi begitu, Pak Presiden…
Oh ya, bapak menyindir lulusan IPB yang kerja di bank, tapi bapak sendiri seorang tukang insinyur, lulusan fakultas kehutanan. Kok bukannya kerja jadi manajer perusahaan kayu, eh malah jadi presiden. Siapa tahu para sarjana yang nyasar itu juga bisa jadi presiden, Pak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak semua yang ada di alam selalu seindah pemandangan pegunungan atau seimut binatang yang menggemaskan. Ia ternyata juga punya sisi gelap....