Pak Jokowi secara halus pernah menyindir mengapa banyak lulusan
Institut Pertanian Bogor (IPB) malah kerja di bank? Sindirian beliau
tentu benar adanya. Tapi sejujurnya, bukan hanya IPB, banyak pula
lulusan dari perguruan tinggi lain yang nyasar.
Sudah tidak terhitung berapa kali saya bertemu kawan yang
pekerjaannya tidak ada hubungan sama sekali dengan jurusan yang ia
tekuni dulu di bangku kuliah.
Ada kawan yang dulu kuliah di jurusan Teknik Sipil, tapi sekarang
bukan ngurusi proyek pembangunan, malah setiap hari ngejar-ngejar
nasabah. Ya, semacam penagih kredit.
Nasib yang hampir sama juga dialami sepupu saya. Semasa kuliah, ia
akrab dengan stetoskop atau pil KB, karena dulu kuliah di jurusan
Kebidanan. Tapi sekarang malah mengakrabi mesin penghitung duit, bukan
duit dia lagi. Ya betul, teller di salah satu bank.
Ada lagi seorang teman yang sebelum lulus kuliah pernah berikrar selayaknya Gaj Ahmada bahwa ia tidak mau bekerja di bank, seperti yang senior-senior lakukan sebelumnya.
Namun, apa boleh dikata, tak lama setelah wisuda ia malah bekerja di
bank swasta yang cukup mentereng. Tapi sekarang sudah keluar dari
pekerjaan tersebut.
Dari cerita di atas, semuanya berakhir dengan menjadi karyawan bank.
Jelas, mengapa presiden kita harus repot-repot menyindir fenomena
nyasarnya para sarjana ini. Sebab, kalau semua jadi karyawan bank,
lantas siapa yang bakal membantu ibu-ibu melahirkan?
Namun, pertanyaan yang tidak kalah penting adalah mengapa fenomena nyasarnya para sarjana ini bisa terjadi? Tentu ada sebabnya. Lha wong, mendadak pergi umroh saja pasti ada pemicunya kok selain ibadah…
Jadi begini, Pak Presiden. Saya perlu mengingatkan bahwa sektor finansial, seperti perbankan dan multifinance,
adalah sektor yang paling banyak membuka lowongan pekerjaan. Di sektor
perbankan saja, setidaknya membutuhkan 25 ribu tenaga kerja baru setiap
tahun, ungkap Ikatan Bankir Indonesia (IBI).
Dan, dari lima perusahaan di Indonesia yang memiliki jumlah karyawan
terbanyak, Bank Rakyat Indonesia (BRI) menempati peringkat pertama. Ya
betul, bank yang katanya digandrungi lulusan IPB, selain Bank Mandiri.
Setiap tahun selalu saja ada selebaran atau poster yang mengumumkan lowongan kerja di bank. Begitu juga dengan beberapa job fair
bergengsi. Bapak Presiden juga harus tahu bahwa hanya di bank lah
seleksi penerimaan karyawan tidak terlalu rumit, kecuali Bank Indonesia
(BI).
Bagaimana tidak, jurusan apapun bebas ikut. Bahkan, untuk lowongan kerja sebagai teller dan customer service saja, masih bisa pakai ijazah setara SMA. Yah, meski banyak juga yang melewati jalur tenaga alih daya atau outsourcing.
Coba bapak bandingkan saja dengan perusahaan-perusahaan lain, jarang
sekali membuka lowongan pekerjaan, Pak. Walaupun mereka menerima
tambahan karyawan, informasinya tidak disebarluaskan alias hanya
diketahui oleh ‘orang dalam’. Akhirnya yang melamar ya teman-teman dan
kerabat karyawan.
Terus sudah begitu, kebanyakan perusahaan tersebut hanya membuka
lowongan untuk beberapa posisi saja, tidak seperti di bank. Sampai di
sini, saya harap bapak bisa mengerti kenapa para sarjana memilih bekerja
di bank.
Bapak sendiri kan tahu, mencari pekerjaan tidak mudah. Yah, meski
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat pengangguran
terbuka per Februari 2017 turun 0,17% atau 10 ribu orang menjadi 7,01
juta orang atau 5,33%, dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 5,5%.
Saya ingin bercerita kejadian di Kota Ternate. Setelah ujian seleksi
untuk salah satu kementerian selesai, langsung diumumkan siapa-siapa
saja yang lulus. Mereka adalah calon guru. Tapi, coba bayangkan, dari
dua sesi ujian yang diikuti oleh ratusan peserta, yang lulus hanya empat
orang. Empat orang, Pak!
Bapak mungkin akan mengatakan bahwa kesempatan menjadi guru itu
banyak karena kita masih kekurangan tenaga pengajar. Okee… tapi itu kan
di daerah pelosok. Siapa yang mau mengajar di daerah terpencil? Iya gak
sih?
Di daerah terpencil itu nggak ada jaringan internet, kan bisa mati
gaya. Lebih enak ngajar di kota, akhir pekan bisa kongkow manja di kafe
sambil main Boomerang di IG Story atau selfie-selfie dan bikin vlog kayak bapak.
Sama halnya dengan para sarjana pertanian lulusan IPB. Masak sudah
jauh-jauh kuliah di Bogor, malah disuruh balik ke kampung ngurusin sawah
dan kebun? Lha mending kerja di bank, terlebih itu di kota besar,
daripada balik ke kampung tapi listriknya saja cuma nyala malam hari.
Lagipula, Bapak Presiden kayak nggak tahu saja stigma di masyarakat
kita bahwa seseorang yang sudah merantau jauh ke kota besar dan kemudian
pulang kampung itu dianggap gagal, Pak. Apa kata calon mertua nanti?
Sarjana pertanian bekerja di bank itu sudah benar. Ya setidaknya mereka masih berurusan dengan bunga, kan?
Saya dan teman saya, sebut saja namanya Asta Purbagustia, adalah lulusan Administrasi Negara, jurusan yang entah apa faedahnya menciptakan para calon ambtenaar.
Sejak lulus bukannya melamar menjadi pegawai honorer atau PTT di
kelurahan atau instansi kedinasan, eh malah bertungkus lumus dengan
kata-kata. Bukannya mengakrabi pelbagai dokumen administrasi, eh malah
sibuk nulis di Voxpop.
Saya pun pernah bertanya kepada sepupu, apakah ia punya niat untuk
keluar dari pekerjaannya di bank dan melanjutkan titahnya sebagai
seorang bidan? Eh, dia malah menjawab kalau berhenti dari bank nanti
tidak bisa memperoleh apa yang ia dan semua orang inginkan, ya materi.
Jadi begitu, Pak Presiden…
Oh ya, bapak menyindir lulusan IPB yang kerja di bank, tapi bapak
sendiri seorang tukang insinyur, lulusan fakultas kehutanan. Kok
bukannya kerja jadi manajer perusahaan kayu, eh malah jadi presiden.
Siapa tahu para sarjana yang nyasar itu juga bisa jadi presiden, Pak!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tak semua yang ada di alam selalu seindah pemandangan pegunungan atau seimut binatang yang menggemaskan. Ia ternyata juga punya sisi gelap....
-
Tak semua yang ada di alam selalu seindah pemandangan pegunungan atau seimut binatang yang menggemaskan. Ia ternyata juga punya sisi gelap....
-
Pak Jokowi secara halus pernah menyindir mengapa banyak lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) malah kerja di bank? Sindirian beliau ten...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar