Jumat, 15 September 2017

Jangan Sekali-kali Melupakan Perempuan

Ilustrasi (huffpost.com)
Kalau kamu jalan-jalan atau melintas Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, mungkin akan melihat sebuah terminal bus yang begitu apik, namanya Terminal Gayatri. Terminal ini sangat strategis, dan pemerintah harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membangunnya.
Nama Gayatri yang dipakai untuk terminal itu juga bukan sembarang nama. Gayatri Rajapatni adalah istri Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (1293-1309), yang menurunkan raja-raja selanjutnya.
Namun, ini bukan semata beliau seorang permaisuri yang bijak dan diagungkan, melainkan peran penting Gayatri Rajapatni untuk negeri ini. Gayatri Rajapatni mampu merajut cita-cita Nusantara dan pemikiran soal kebhinnekaan.
Temuan ini berdasarkan hasil penelitian bertajuk ‘Jejak Doktrin Bhinneka di Bumi Tulungagung’, yang dilakukan oleh Institute for Javanese Islam Research (IJIR), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) IAIN Tulungagung, serta Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tulungagung.
Buah pemikiran tentang visi penyatuan Nusantara dan kebhinnekaan yang disempurnakan oleh Gayatri Rajapatni itulah yang akhirnya menjadi semboyan bangsa ini, yang tertulis apik pada lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Ya betul, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Tapi, sayang, nama Gayatri sendiri hanya dijadikan nama sebuah terminal bus kota dan bus antar kota antar provinsi alias AKAP. Pada salah satu poin rekomendasi ‘Jejak Doktrin Bhinneka di Bumi Tulungagung’, disebutkan, penggunaan nama Gayatri sebagai nama terminal adalah bentuk pelecehan.
Gayatri Rajapatni sudah berkontribusi besar, pemikirannya yang luhur menjadi koentji kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Dan, siapa sangka, pemikiran yang sudah berlangsung selama berabad-abad itu merupakan refleksi dari nilai-nilai feminisme?
Apa yang ada dalam pemikiran Gayatri Rajapatni mengenai kebhinnekaan tidaklah jauh dari nilai-nilai feminisme interseksional yang diperjuangkan hingga hari ini. Feminisme interseksional menjunjung tinggi keragaman identitas.
Bahwa manusia terdiri atas berbagai ras, gender, orientasi seksual, agama, usia, dan disabilitas, sehingga sudah pasti ada perbedaan. Karena itu, feminisme interseksional berusaha membangun kesadaran atas keragaman identitas. Hal ini selaras dengan semangat kebhinnekaan, Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, apa yang terjadi?
Budaya patriarki menghambat cita-cita leluhur bangsa ini, yang mana merupakan hasil pemikiran yang disempurnakan oleh Gayatri Rajapatni. Dari zaman kolonialisme, perempuan dijadikan gundik hingga jugun ianfu, yang menempatkan perempuan sebagai budak seksual semata.
Pada era Orde Baru, tepatnya saat peralihan era Reformasi, perempuan keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual secara masif. Dan, pada era milenial saat ini, masih marak kasus pelecehan, perkosaan, serta industrialisasi yang meletakkan seksualitas dan perempuan sebagai komoditi.
Bhinneka Tunggal Ika seharusnya menjadi penolong, namun yang terjadi adalah konsolidasi kekuatan fasisme, yang mengarah pada perpecahan. Bahkan, hingga hari ini, sistem yang ada justru melanggengkan budaya patriarki.
Padahal, yang cenderung lebih memahami perbedaan, ya perempuan. Ruth Indiah Rahayu, dalam Kursus Perempuan yang diadakan oleh Agenda18, pernah mengatakan, perempuan yang melahirkan keragaman dari rahimnya, sehingga perempuan harus dapat menyatukan perbedaan yang ada di antara anak-anaknya.
Hal ini menjelaskan bagaimana perempuan dengan mudah memahami keragaman identitas dalam manusia, sedangkan budaya patriarkis cenderung mengotak-ngotakkan perempuan dan menyeragamkannya agar tidak ada perbedaan.
Mereka yang patriarkis akan selalu takut dengan adanya perbedaan. Mereka akan merasa terancam, tatkala ada perempuan yang berani menunjukkan diri untuk melawan penindasan padanya.
Bahkan, di antara laki-laki sendiri, sering terlihat adanya perlombaan maskulinitas yang tidak sehat, berusaha menyeragamkan laki-laki superior dalam satu definisi. Padahal, perbedaan sangat dibutuhkan untuk menghapus persaingan yang tidak sehat. Itu mengapa kita perlu merawat kebhinnekaan.
Usaha untuk terus merawat kebhinnekaan dapat dilihat dari upaya Henny Supolo dengan membangun Yayasan Cahaya Guru. Dalam pleno Relevansi Feminisme yang merupakan rangkaian sesi Feminist Fest pada 26-27 Agustus 2017, Henny menjelaskan bagaimana program YCG bernama Sekolah Guru Kebhinnekaan berupaya membangun kesadaran kepada guru-guru mengenai keragaman.

Pleno Relevansi Feminisme 27 Agustus 2017. Anindya Restuviani (moderator), Henny Supolo, Nurlan Silitonga, dan Hannah Al-Rashid.
Sebab guru adalah sumber ilmu pengetahuan setelah ibu, maka guru berfungsi untuk mengenalkan keragaman yang lebih luas. Dengan melatih dan mengajak guru untuk mengunjungi berbagai tempat ibadah dan keragaman komunitas, dapat membuka pandangan para guru yang akan ditularkan kepada muridnya.
Henny Supolo juga menegaskan, feminisme sangat berkaitan dengan Bhinneka Tunggal Ika. “Feminisme merangkul teman-teman yang kurang beruntung untuk maju bersama dengan basis kemanusiaan,” ujarnya.
Di sini dapat kita lihat bahwa perbedaan identitas tak seharusnya menjadi penghalang untuk menciptakan keharmonisan dan perdamaian dalam kehidupan bernegara. Dan, feminisme merupakan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan di antara keragaman yang ada.
Namun, disesalkan, pemahaman terhadap feminisme masih sangat menakutkan bagi sekelompok orang. Bahkan, beberapa orang menganggap ini sebagai ideologi asing dan tidak sesuai adat ketimuran.
Ini terjadi karena sejarah hanya memihak kepada laki-laki, sehingga tidak memberi ruang untuk perempuan yang telah cukup berjasa menyumbangkan pemikirannya.
Seperti upaya yang dilakukan Soeharto terhadap warisan pemikiran Kartini. Perayaan Hari Kartini kerap dirayakan dengan lomba tata rias dan busana, sehingga citra Kartini pun berubah dari seorang pemikir hingga menjadi seorang yang terdomestikasi.
Nilai-nilai feminisme untuk membangun sebuah landasan negara sudah ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka dan sebelum istilah feminisme dibuat untuk medefinisikan sebuah upaya memperjuangkan kesetaraan.
Kita perlu menyadari, sampai saatnya nanti, feminisme bukan hal yang menakutkan, tapi hal yang lumrah di masyarakat kita. Tanpa nilai-nilai feminisme, Bhinneka Tunggal Ika hanya semboyan belaka.
Nah, jika ada yang bilang feminisme itu ideologi asing, coba tanyakan apakah mereka sudah tahu sejarah tentang ideologi bangsa ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak semua yang ada di alam selalu seindah pemandangan pegunungan atau seimut binatang yang menggemaskan. Ia ternyata juga punya sisi gelap....